Sistem perkawinan yang dianut oleh suku Sasak lebih mengarah ke sistem indogami. Bahkan di beberapa tempat, terutama pada masa lampau, sistem indogami dilaksanakan secara ketat yang kemudian melahirkan kawin paksa dan pengusiran (istilah sasaknya bolang) terhadap “terutama” anak gadis. Walaupun kecenderungannya Indogami namun sistem Eksogami tidak diharamkan oleh adat.
Namun perlu dicatat bahwa adat perkawinan suku sasak, kalau boleh saya katakan, telah mengalami distorsi disana sini. Hal ini akibat serbuan nilai-nilai baru, baik yang berasal dari agama Islam maupun dari nilai-nilai barat. Walau demikian adat ini bukan berarti hilang, ia masih bisa ditemukan di daerah-daerah yang masih kuat menjalankan adat istiadatnya. Sebaliknya di daerah-daerah yang religius dan modern berlakunya adat itu hanya sekedar formalitas belaka.
Sebenarnya terdapat tiga sistem perkawinan Adat Sasak, yakni:
1. Perondongan, (2).Mepadik Lamar (melamar), (3) Merarik atau Selarian (kawin lari)
1. Perondongan (Perjodohan)
Perjodohan merupakan salah satu bentuk perkawinan yang sering dilakukan oleh masyarakat adat Sasak di masa lampau. Paling tidak ada 3 (tiga) alasan orang tua melakukan perjodohan pada anak-anak mereka, yakni (1) untuk memurnikan keturunan dari sebuah keluarga, biasanya keluarga keturunan bangsawan tidak mau darahnya bercampur dengan darah orang lain yang bukan bangsawan atau terutama dari status sosialnya lebih rendah, (2)untuk melanggengkan hubungan persahabatan antar kedua orang tua mempelai, dan yang ke (3) karena alasan-alasan tertentu, diantaranya adalah akibat kesewenang-wenangan rezim kolonial, dalam hal ini kolonial Jepang di Lombok.
Semasa pendudukan Jepang seringkali tentara Jepang mengambil gadis-gadis lokal secara paksa untuk dijadikan gundik. Yang mereka ambil adalah perempuan yang belum memiliki suami atau perempuan yang belum memiliki ikatan perjodohan. Karena itu masyarakat melakukan langkah preventif dengan cara menjodohkan anak-anak perempuannya sejak masa kanak-kanak. Perkawinan ini kemudian dikenal dengan nama “kawin tadong”. Kalau sudah mendapatkan status perkawinan otomatis tentara Jepang tidak akan mengambilnya.
Alasan yang pertama dan kedua adalah alasan yang paling banyak ditemukan karena itu biasanya perjodohan dilakukan di dalam garis kekerabatan (keluarga), misalnya antar sepupu, yang dalam bahasa sasak disebut pisak (baca pisa’).
Perjodohan dimulai ketika masih dalam usia kanak-kanak atau sering juga terjadi setelah mulai dewasa, yang dilakukan berdasarkan kesepakatan orang tua semata.
Dalam perjodohan ini terdapat tiga cara yang digunakan, yakni:
a. Setelah adanya kesepakatan antar orang tua diadakanlah upacara pernikahan layaknya upacara pernikahan orang dewasa, namun sekalipun mereka telah berstatus sebagai suami isteri mereka dilarang hidup bersama sebagai suami isteri. Tempat tinggal mereka dipisahkan dan tetap tinggal bersama orang tua masing-masing. Mereka akan dinikahkan dalam arti yang sebenarnya kelak setelah memasuki usia dewasa (aqil baliq). Jadi dengan pernikahan dini tersebut sesungguhnya anak-anak telah terikat dalam sebuah tali perkawinan
b. Anak-anak tidak dinikahkan akan tetapi hanya cukup dengan pertunangan. Esensinya sama dengan cara di atas, bahwa kelak setelah dewasa anak-anak tersebut akan dikawinkan dengan perkawinan yang sesungguhnya.
c. Anak-anak tidak dinikahkan juga tidak dilakukan pertunangan, akan tetapi cukup diumumkan di publik bahwa anak mereka telah dijodohkan. Anak-anak tersebut baru akan diberitahukan setelah mereka dianggap dewasa.
Jika kelak anak yang telah dikawinkan/jodohkan ini menolak melanjutkan perkawinannya, orang tua akan memaksa anak-anaknya untuk tetap melanjutkan perkawinan itu, hal kemudian menimbulkan tradisi kawin paksa. Akan tetapi jika si anak tetap menolak maka orang tua akan melakukan pengusiran ke desa tertentu. Pengusiran ini kemudian disebut “bolang” = buang.
Untuk itu mekanisme pemingitan yang merupakan pelarangan terhadap terutama kepada anak perempuan yang telah dijodohkan atau yang telah dikawin tadong untuk keluar dari rumah. Mekanisme ini kemudian melahirkan tradisi pingit. Dalam perkembangan selanjutnya sistem pingit ini berlaku untuk seluruh anak gadis, baik yg telah berjodoh maupn yang tidak dengan berbagai alasan.
Alasan pemingitan adalah (1) Agar tidak dilarikan oleh laki-laki lain, (2). Menghindari terjadinya kasus-kasus asusila pada si gadis yang nantinya akan membawa aib keluarga, Jadi tujuan utamanya adalah melindungi kaum peremouan.
2. Kawin Lamar (Mepadik Lamar)
Sistem ini tidak jauh beda dengan sistem lamar yang berlaku di tempat lain, bahwa setelah calon mempelai bersepakat melakukan pernikahan, calon mempelai laki-laki akan memberitahukan orang tuanya dan meminta dilamarkan ke orang tua si gadis. Cara melamar ini dalam prakteknya sering sekali memerlukan waktu yang panjang, ribet dan berliku-liku, sehingga sering sekali membuat rasa jenuh dan jengkel bagi sepasang kekasih, yang bahkan tidak jarang berakhir dengan kegagalan. Karena itu cara ini sangat tidak populer. Akan di masyarakat yang taat beragama dan atau di masyarakat perkotaan sistem ini justeru lebih populer.
3. Merarik (Selarian)
Sistem ini adalah yang paling populer, sekalipun mengandung bahaya namun cara ini adalah cara yang umum dipergunakan oleh masyarakat Sasak sampai sekarang.
Merarik adalah sebuah langkah awal dari suatu proses perkawinan yang panjang. Merarik sering dikonotasikan dengan mencuri gadis (perempuan) dalam arti melarikan perempuan untuk dijadikan isteri oleh laki-laki. Jadi perbuatan mencuri gadis bukan kejahatan
Filosofinya menurut pengertian yang umum diketahui, merarik dalam persepsi masyarakat Sasak merupakan suatu bentuk “penghormatan” kepada kaum perempuan. Bagi mereka, perempuan tidak bisa disamakan dengan benda yang bisa di tawar-tawar atau diminta. Dikatakan bahwa dengan melarikan gadis pihak laki-laki ingin menunjukkan keberanian dan kesetiaannya sebagai calon suami yang siap mempertaruhkan nyawanya demi sang calon isteri.
Saat ini kata merarik secara praktis sudah menjadi “istilah” yang artinya sama dengan “kawin”, tidak peduli dilakukan dengan cara kawin lari atau melamar.
Berikut ini beberapa prosesi adat perkawinannya secara lengkap ;
Prosesi | Maknanya |
1. Mesejati | Pihak laki-laki mengutus beberapa orang tokoh masyarakat setempat atau tokoh adat untuk melaporkan kepada desa atau kepala lingkungan untuk mempermaklumkan mengenai perkawinan |
2. Selabar | Untuk mempermaklumkan kepada pihak keluarga calon pengantin perempuan yang ditindak lanjuti oleh pembicaraan adat istiadat |
3. Menjemput wali | Menjemput wali dari pihak yang perempuan bias langsung pada saat selabar atau beberapa hari setelah selabar |
4. Mengambil janni | Membicarakan seputar sorong serah dan aji krame sesuai adat istiadat yang berlaku di dalam desa atau kampong asal calon mempelai perempuan |
5. Sorong serah Aji Krame | Niat adat disebut juga sorong serah yatu suatu pernyataan persetujuan kedua pihak baik dari pihak laki-laki maupun puhak perempuan |
Aji Krame terdiri dari : | |
Sesirah | Melambangkan perbedaan antara orang bebas dengan budak |
Lampak Lemah | Sebagai penghapus kedua bekas telapak kaki di atas tanah yang pernah dilewati oleh calon mempelai |
Pemegat | Sebagai pemutus brupa uang yang terdiri dari seikat benang bolong yang dipergunakan sesudah pembicaraan selesai sengan kata sepakat |
Salin Dedeng | Berupa sebuah ceraken diatasnya diletakkan sebuah buluh yang diruncingkan dengan makna sebagai persiapan untuk menantikan kelahiran sang bayi yang dihasilkan dari sebuah perkawinan |
Olen-olen | Berupa sebuah peti yang didalamnya diisi dengan bermacam-macam kain atau sarung tenun yang maknanya sebagai pelengkap mungkin terjadi kekurangan akibat dari pembicaraan dalam acara sorong serah secara keseluruhan |
6. Nyongkolan | Mengunjungi pihak keluarga perempuan yang diiringi oleh kerabat dan handai taulan menggunakan pakaian adat |
7. Balik Lampak Nae | Berkunjung ke rumah orang tua perempuan secara khusus bersama kedua orang tua pihak laki-laki |
0 komentar:
Posting Komentar