1) Lokasi
Rembitan adalah nama sebuah desa, di wilayah Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Berjarak lebih kurang 3 km dari ibu kota Kecamatan Sengkol, dan mataram ibu kota Nusa Tenggara Barat. Kondisi topografi wilayah ini merupakan daerah perbukitan yang dilintasi jalan raya menuju kawasan wisata pantai selatan pulau Lombok.
Bangunan masjid kuno rembitan terletak di tengah-tengah perkampungan penduduk. Bila masjid kuno di gunung pujut terletak pada bagian puncak bukit, tidak demikian halnya dengan masjid kuno rembitan di desa rembitan. Masjid kuno ini kendati terletak pada bagian atas bukit, namun tidak berada di puncaknya. Beberapa rumah penduduk ada yang letaknya lebih tinggi dari pada lokasi bangunan masjid tersebut.
2) Fiisik Bangunan
Bangunan Masjid kuno Rembitan berukuran 7,80 m X 7,60 m. disebelahnya terdapat sebuah kolam dalamnaya 2,50 m. dengan garis tengah bagian atas 5 m dan bagian bawahnya 3 m. pondasi atau lantai bangunan tersebaut terbuat dari tanah. Secara fisik, baik prototife maupun bahan dasr bangunan tersebut sama dengan masjid kuno yang ada di Gunung Pujut.yanga terhgolang khas pada banguna ini adalah tali temali menggunakan bahan ijuk dan tali soat, yaitu sejenis akar gantung pada tumbuhan hutan. Tali mengikat atap ( alang-alang ) menggunakan “ male “.
Bentuknya memiliki cirri khas yaitu:
1. Mihrab pada dinding barat tidak menunjukkan arah kiblat yang tepat.
2. Bentuk atap tumpang, dengan cirri khas bagian bawah menjurai, kira-kira satu meter dari pondasi (“bataran”)
3. Hanya ada bangunan inti tanpa serambi yang didukung oleh 4 buah tiang utama dan beberapa tiang keliling
4. Atap dari alang dan ijuk, dindingnya dari bamboo (“bedeq”)
Bila penduduk melakukan renovasi jenis bahan maupun jumlah bilangannya masih tetap dipertahankan, karena berkaiatan dengan system kepercayaan mereka.
3) Tinjauan Sejarah dan Arkeologis
Bangunan masjid kuno Rembitan merupakan satu diantara beberapa buah bangunan majsid kuno di Lombok. Adapun cirri-ciri yang menunjukkan kekunoannya ialah :
1. Mihrab pada dinding barat tidak menunjukkan araj kiblat yang tepat.
2. Bentuk atap tumpang, dengan cirri khas bagian bawah menjurai, kira- kira satu meter dari pondasi (“bataran”)
3. Hanya ada bangunan inti tanpa serambi yang didukung oleh 4 buah tiang utama dan beberapa tiang keliling
4. Atap dari alang dan ijuk, dindingnya dari bamboo (“bedeq”)
Cirri-ciri tersebut tidak hanya pada masjid Kuno Rembitan saja akan tetapi terdapat juga pada Masjid Gunung Pujut ( di Kecamatan Pujut ) dan Masjid bayan Belek ( di Kecamatan bayan ), Kabupaten Lombok Barat ). Perbedaanya hanya pada bahan baku atapnya ( bambu )
Adanya beberapa persamaan pada ketiga bangunan masjid kuno tersebut, memperkuat dugaan bahwa ketiga bangunan masjid itu di bangun pada masa yang bersamaan, yaitu pada masa awal berkembangnya agama Islam di Lombok. Data otentik yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah tentang kapan dibangunnya Masjid Kuno Rembitan ini memang belum ditemukan.
Cerita tradisi yang masih hidup di kalangan penduduk desa Rembitan dan sekitarnya mengatakan bahwa masjid ini dibangun pada sekitar abad ke-16. Babad Lombok menyebutkan bahwa agama islam masuk ke Lombok dibawa oleh sunan Prapen, Putra Sunan Giri dari Gresik. Dibangunnya Masjid Kuno Rembitan sering di hubungkan dengan nama seorang tokoh penyebar agama islam di daerah Rembitan dan sekitarnya, yaitu Wali Nyatoq, yang makamnya terdapat di bukit Nyatoq, kira-kira 2 kilometer sebelah timur desa Rembitan
a. Makam Seriwe
1) Lokasi
Situs makam seriwe terletak di atas sebuah bukit kecil, di dusun seriwe, desa pejanggik, kecamatan praya, kabupaten tengah lebih kurang 37 km dari mataram. Bukit tempat makam berada di sebut juga bukiat seriwe. Terletak di sebelah jalan yang menghubungkan kota praya ( ibukota kabupaten Lombok tengah ), dengan kota-kota kecamatan lain di bagian selatan kabupaten Lombok timur. Letak makam yang demikian menyebabkan lokasi tersebut mudah dijangkau dengan segala jenis kendaraan.
2) Tinjauan Sejarah dan Arkeologis
Oleh masyarakat setempat, makam seriwa dikenal sebagai makam datu pejanggik. Sistem pemakaman diatas bukit merupakan tradisi yang sudah berlangsung sejak zaman Hindu, hingga setelah masuknya agama islam. Tradisi ini didasari oleh suatu konsepsi pemikiran bahwa pada tempat-tempat yang tinggi (seperti di puncak bukit) adalah tempat yanag suci, dan di situlah tempat bersemayan roh nenek moyang dan para dewa. Dengan memakamkan seorang tokoh ” tempat yang tinggi” juga dapat diartikan sebagai bentuk penghormatan dari yang masih hidup kepada yang sudah meninggal ( nenek moyang ).
Di Lombok terdapat beberapa buah makam kuno yang letaknya di atas bukit, seperti :
a) Makam Wali Nyatok, dekat desa rembitan, kecamatan pujut, kabupaten Lombok tengah
b) Makam batu layar, wilayah kecamatan gunungsari, Lombok barat
c) Makam buaq bakang, di desa perigi, kecamatan pringgabaya Lombok timur
Di atas bukit Seriwa terdapat 3 deretan makam, berjajar arah timur barat. Makam-makam pertama terletak pada deretan paling utara, atau deret ketiga dari selatan, yang sebenarnya tepat berada di tengah-tengah(puncak) bukit. Pada ujung barat deretan ini terdapat sebuah makam yang diberi cungkup. Makam inilah yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai makam Datu Pejanggik yaitu Pemban Aji.
Pejanggik adalah satu diantara “kerajaan” yang dianggap tua di Lombok. Sayang,sumber-sumber yang dapat di pertanggung jawabkan menurut disiplin ilmu sejarah tentang hal ini kurang, sehingga kapan kerajaan Pejanggik ini muncul belum dapat di tentukan. Satu-satunya sumber yang ada hanyalah sumber local, berupa babad. Sebagaimana kita ketahui, sumber-sumber yang demikian mengandung banyak kelemahan bila hendak digunakan sebagai dasar rekonstruksi sejarah.
Menurut para ahli, “kerajaan-kerajaan” kecil seperti Pejanggik ini banyak jumlahnya di Lombok. Masing-masing di pimpin oleh seorang yang bergelar “datu”. Di dalam lontar “ babad selaparang” di sebutkan bahwa salah seorang “datu” pejanggik bernama Prabu Dewa Kusuma, sedangkan sumber lain menyebutkan nama Dewa Mas Panji. Sumber-sumber lokal menyebutkan bahwa Raja-raja pejanggik ini memakai gelar “dat”, “Raja”, “Pemban Aji” dan sebagainya. Gelar-gelar semacam ini sering di hubungkan dengan kedudukan “Raja” dan lebih banyak mencerminkan unsur Lokalnya.
Rembitan adalah nama sebuah desa, di wilayah Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Berjarak lebih kurang 3 km dari ibu kota Kecamatan Sengkol, dan mataram ibu kota Nusa Tenggara Barat. Kondisi topografi wilayah ini merupakan daerah perbukitan yang dilintasi jalan raya menuju kawasan wisata pantai selatan pulau Lombok.
Bangunan masjid kuno rembitan terletak di tengah-tengah perkampungan penduduk. Bila masjid kuno di gunung pujut terletak pada bagian puncak bukit, tidak demikian halnya dengan masjid kuno rembitan di desa rembitan. Masjid kuno ini kendati terletak pada bagian atas bukit, namun tidak berada di puncaknya. Beberapa rumah penduduk ada yang letaknya lebih tinggi dari pada lokasi bangunan masjid tersebut.
2) Fiisik Bangunan
Bangunan Masjid kuno Rembitan berukuran 7,80 m X 7,60 m. disebelahnya terdapat sebuah kolam dalamnaya 2,50 m. dengan garis tengah bagian atas 5 m dan bagian bawahnya 3 m. pondasi atau lantai bangunan tersebaut terbuat dari tanah. Secara fisik, baik prototife maupun bahan dasr bangunan tersebut sama dengan masjid kuno yang ada di Gunung Pujut.yanga terhgolang khas pada banguna ini adalah tali temali menggunakan bahan ijuk dan tali soat, yaitu sejenis akar gantung pada tumbuhan hutan. Tali mengikat atap ( alang-alang ) menggunakan “ male “.
Bentuknya memiliki cirri khas yaitu:
1. Mihrab pada dinding barat tidak menunjukkan arah kiblat yang tepat.
2. Bentuk atap tumpang, dengan cirri khas bagian bawah menjurai, kira-kira satu meter dari pondasi (“bataran”)
3. Hanya ada bangunan inti tanpa serambi yang didukung oleh 4 buah tiang utama dan beberapa tiang keliling
4. Atap dari alang dan ijuk, dindingnya dari bamboo (“bedeq”)
Bila penduduk melakukan renovasi jenis bahan maupun jumlah bilangannya masih tetap dipertahankan, karena berkaiatan dengan system kepercayaan mereka.
3) Tinjauan Sejarah dan Arkeologis
Bangunan masjid kuno Rembitan merupakan satu diantara beberapa buah bangunan majsid kuno di Lombok. Adapun cirri-ciri yang menunjukkan kekunoannya ialah :
1. Mihrab pada dinding barat tidak menunjukkan araj kiblat yang tepat.
2. Bentuk atap tumpang, dengan cirri khas bagian bawah menjurai, kira- kira satu meter dari pondasi (“bataran”)
3. Hanya ada bangunan inti tanpa serambi yang didukung oleh 4 buah tiang utama dan beberapa tiang keliling
4. Atap dari alang dan ijuk, dindingnya dari bamboo (“bedeq”)
Cirri-ciri tersebut tidak hanya pada masjid Kuno Rembitan saja akan tetapi terdapat juga pada Masjid Gunung Pujut ( di Kecamatan Pujut ) dan Masjid bayan Belek ( di Kecamatan bayan ), Kabupaten Lombok Barat ). Perbedaanya hanya pada bahan baku atapnya ( bambu )
Adanya beberapa persamaan pada ketiga bangunan masjid kuno tersebut, memperkuat dugaan bahwa ketiga bangunan masjid itu di bangun pada masa yang bersamaan, yaitu pada masa awal berkembangnya agama Islam di Lombok. Data otentik yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah tentang kapan dibangunnya Masjid Kuno Rembitan ini memang belum ditemukan.
Cerita tradisi yang masih hidup di kalangan penduduk desa Rembitan dan sekitarnya mengatakan bahwa masjid ini dibangun pada sekitar abad ke-16. Babad Lombok menyebutkan bahwa agama islam masuk ke Lombok dibawa oleh sunan Prapen, Putra Sunan Giri dari Gresik. Dibangunnya Masjid Kuno Rembitan sering di hubungkan dengan nama seorang tokoh penyebar agama islam di daerah Rembitan dan sekitarnya, yaitu Wali Nyatoq, yang makamnya terdapat di bukit Nyatoq, kira-kira 2 kilometer sebelah timur desa Rembitan
a. Makam Seriwe
1) Lokasi
Situs makam seriwe terletak di atas sebuah bukit kecil, di dusun seriwe, desa pejanggik, kecamatan praya, kabupaten tengah lebih kurang 37 km dari mataram. Bukit tempat makam berada di sebut juga bukiat seriwe. Terletak di sebelah jalan yang menghubungkan kota praya ( ibukota kabupaten Lombok tengah ), dengan kota-kota kecamatan lain di bagian selatan kabupaten Lombok timur. Letak makam yang demikian menyebabkan lokasi tersebut mudah dijangkau dengan segala jenis kendaraan.
2) Tinjauan Sejarah dan Arkeologis
Oleh masyarakat setempat, makam seriwa dikenal sebagai makam datu pejanggik. Sistem pemakaman diatas bukit merupakan tradisi yang sudah berlangsung sejak zaman Hindu, hingga setelah masuknya agama islam. Tradisi ini didasari oleh suatu konsepsi pemikiran bahwa pada tempat-tempat yang tinggi (seperti di puncak bukit) adalah tempat yanag suci, dan di situlah tempat bersemayan roh nenek moyang dan para dewa. Dengan memakamkan seorang tokoh ” tempat yang tinggi” juga dapat diartikan sebagai bentuk penghormatan dari yang masih hidup kepada yang sudah meninggal ( nenek moyang ).
Di Lombok terdapat beberapa buah makam kuno yang letaknya di atas bukit, seperti :
a) Makam Wali Nyatok, dekat desa rembitan, kecamatan pujut, kabupaten Lombok tengah
b) Makam batu layar, wilayah kecamatan gunungsari, Lombok barat
c) Makam buaq bakang, di desa perigi, kecamatan pringgabaya Lombok timur
Di atas bukit Seriwa terdapat 3 deretan makam, berjajar arah timur barat. Makam-makam pertama terletak pada deretan paling utara, atau deret ketiga dari selatan, yang sebenarnya tepat berada di tengah-tengah(puncak) bukit. Pada ujung barat deretan ini terdapat sebuah makam yang diberi cungkup. Makam inilah yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai makam Datu Pejanggik yaitu Pemban Aji.
Pejanggik adalah satu diantara “kerajaan” yang dianggap tua di Lombok. Sayang,sumber-sumber yang dapat di pertanggung jawabkan menurut disiplin ilmu sejarah tentang hal ini kurang, sehingga kapan kerajaan Pejanggik ini muncul belum dapat di tentukan. Satu-satunya sumber yang ada hanyalah sumber local, berupa babad. Sebagaimana kita ketahui, sumber-sumber yang demikian mengandung banyak kelemahan bila hendak digunakan sebagai dasar rekonstruksi sejarah.
Menurut para ahli, “kerajaan-kerajaan” kecil seperti Pejanggik ini banyak jumlahnya di Lombok. Masing-masing di pimpin oleh seorang yang bergelar “datu”. Di dalam lontar “ babad selaparang” di sebutkan bahwa salah seorang “datu” pejanggik bernama Prabu Dewa Kusuma, sedangkan sumber lain menyebutkan nama Dewa Mas Panji. Sumber-sumber lokal menyebutkan bahwa Raja-raja pejanggik ini memakai gelar “dat”, “Raja”, “Pemban Aji” dan sebagainya. Gelar-gelar semacam ini sering di hubungkan dengan kedudukan “Raja” dan lebih banyak mencerminkan unsur Lokalnya.
0 komentar:
Posting Komentar