1) Lokasi
Banguna masjid kuno ini terletak di puncak sebuah bukit. Oleh karena masyarakat setempat, bukit ini di sebut Gunung Pujut terletak di Desa Sengkol, Kecamatan Lombok Tengan.
2) Data Fisik Bangunan
Masjid Gunung Pujut berukuran 8,6 m x 8,6 m, lantainya (Sasak ; bataran) terbuat dari tanah, dindingnya terbuat dari bamboo 9bedeg), atapnya terbuat dari alang-alang.Tiang penyangga utama (saka guru) ada empat buah, didukung tiang keliling sebanyak 28 buah, yang sekaligus berfungsi sebagai tempat menempelnya dinding (”bedeg bambu”)
3) Tinjauan Sejarah dan Arkeologis
Mendirikan bangunan yang bernilai sacral di atas bukit merupakan tradisi zaman prasejarah (tradisi megalit) yang kemudian berlanjut pada zaman Hindu dan Islam.
Di Gunung Pujut masih satu kompleks dengan bangunan masjid tersebut terdapat bangunan tempat pemujaan yang disebut Pedewa.Baik bangunan masjid maupun Pedewa digunakan oleh satu kelompok masyarakat yang sama, yaitu penganut ajaran “Waktu Telu’.
Upacara-upacara yang berkaitan dengan pemujaan roh nenek moyang seperti “nyelamet desa” dan “nyaur sesangi” bertempat di pedewa di pimpin oleh Pemangku.Di dalam kelompok masyarakat penganut ajaran “Waktu Telu”, seorang pemangku di percaya mampu bertindak sebagai medium yang menghubungkan manusia dengan roh nenek moyang sekaligus memimpin upacara yang berkaitan dengan hal itu.Lafal-lafal kalimat mantera yang diucapkan oleh pemangku, kecuali menyebut nama roh nenek moyang yang dimintai pertolongan, juga menyebut dewa-dewa yang dikenal dalam agama Hindu, yaitu Batara Wisnu dan Batara Guru.
Upacara yang berhubungan dengan agama Islam bertempat di masjid, dipimpin oleh Kyai.Oleh karena itu dilihat dari sudut pandang ajarannya, jelaslah bahwa ajaran “Waktu Telu” tidak lain adalah perpaduan antara system kepercayaan animisme, Hindu, dan Islam.
Adanya sinkretisme ini akan tampak juga jika dihubungkan dengan ceritera tradisi masyrakat pujut tentang asal-usul nenek moyangnya (Datu Pujut) yang dikatakan berasal dari Majapahit, bernama Mas Mulia.Di Klungkung Bali, Mas Mulia kawin dengan puteri Dewa Agung Putu Alit bernama Dewi Mas Ayu Supraba.Dari Bali, Mas Mulia disertai 17 keluarga (bhs.sasak : kuren) berangkat menuju Lombok dan menetap di Pujut.Mereka inilah yang kemudian menjadi cikal bakal penduduk asli desa Pujut sekarang.
Masjid Pujut adalah prorotipe masjid kuno di Lombok.Bentuk masjid ini berasal dari masa awal berkembangnya agama Islam di Lombok, diperkirkan awal abad ke-17 Masehi.
4) Status
Masjid Gunung Pujut ditinjau dari usia maupun latar sejarah keberadaanya termasuk “benda cagar budaya” sebagaimana di maksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Ketika dilakukan pendataan oleh kantor Wilayah Depdikbud Propinsi Nusa Tenggara Barat, dalam hal ini Bidang Permuseuman,Sejarah dan Kepurbakalaan (1976), bangunan masjid kuna dan “Pedewa” dalam keadaan sudah tidak difungsikan sebagaiman fungsinya semula. Dengan demikian masjid Gunung Pujut berikut situsnya dapat digolongkan sebagai “dead monument”(monument mati).
5) Fungsi
Kompleks bangunan masjid, termasuk “Pedewa” pada masa lalu merupakan sarana kegiatan ritual bagi penganut ajaran “Waktu Telu”.Eksistensi “Waktu Telu” itu sendiri secara formal sudah tidak ada oleh karena itu aktivitas ritualnya kini sudah tidak ada lagi.Ketika dilakukan pendataan oleh kantor Wilayah Depdikbud Propinsi Nusa Tenggara Barat, dalam hal ini Bidang Permuseuman,Sejarah dan Kepurbakalaan (1976), bangunan masjid kuna dan “Pedewa” dalam keadaan sudah tidak difungsikan sebagaiman fungsinya semula, yaitu Upacara-upacara yang berkaitan dengan pemujaan roh nenek moyang seperti “nyelamet desa” dan “nyaur sesangi” bertempat di pedewa di pimpin oleh Pemangku.Di dalam kelompok masyarakat penganut ajaran “Waktu Telu”, seorang pemangku di percaya mampu bertindak sebagai medium yang menghubungkan manusia dengan roh nenek moyang sekaligus memimpin upacara yang berkaitan dengan hal itu.Lafal-lafal kalimat mantera yang diucapkan oleh pemangku, kecuali menyebut nama roh nenek moyang yang dimintai pertolongan, juga menyebut dewa-dewa yang dikenal dalam agama Hindu, yaitu Batara Wisnu dan Batara Guru. Upacara yang berhubungan dengan agama Islam bertempat di masjid, dipimpin oleh Kyai.Oleh karena itu dilihat dari sudut pandang ajarannya, jelaslah bahwa ajaran “Waktu Telu” tidak lain adalah perpaduan antara system kepercayaan animisme, Hindu, dan Islam.
0 komentar:
Posting Komentar